Pesta demokrasi lima tahunan, Pemilu 2019, Rabu (17/4) sukses diselenggarakan secara serentak di Indonesia. Berbeda dengan di Indonesia yang menerapkan Pemilu secara manual, sejumlah negara sudah mengadopsi perkembangan teknologi.

Beberapa negara maju mulai menerapkan bantuan teknologi untuk menentukan hasil pemilihan dengan lebih cepat. Voting elektronik (e-vote) umumnya diadopsi untuk menentukan pemilihan suara dalam skala besar dengan dimediasi komputer.

Pemberi suara bisa menyalurkan pilihan dengan lebih mudah setelah dibekali petunjuk pemilihan suara. Voting elektronik dinilai mempercepat proses pemilihan suara dengan cara memproses tahapan pemilu mulai dari pembuatan ballot yang memuat daftar nama kandidat, penyerahan ballot untuk dipilih, perekaman ballot untuk mencatat hasil perolehan suara, hingga tabulasi atau pendataan jumlah suara.

Mesin voting elektronik bisa melakukan empat tahapan menggunakan komputasi mesin agar lebih cepat dan akurat. Sejauh ini, setidaknya ada dua tipe voting elektronik yang diterapkan sejumlah negara yakni e-voting dan i-voting.

I-voting atau internet-voting dianggap lebih praktis arena bisa dilakukan dari mana saja. Hanya saja, proses i-voting memiliki keterbatasan lantaran sangat rawan terkena serangan siber.

Banyak negara yang menganggap i-voting tidak aman. Keresahan lain dari proses pemilihan suara ini yakni kemungkinan adanya paksaan atau jual beli suara, terutama di daerah yang kurang terkontrol. Sejauh ini sistem i-voting sudah diterapkan secara terbatas di Estonia, Swiss, Prancis, dan Filipina.

Tipe pemilu kedua yakni e-voting tidak mengandalkan koneksi internet, tetapi menggunakan perangkat khusus untuk mengumpulkan dan mendata suara dari masing-masing kandidat.

Mengutip situs Massachusets Institute of Technology Science Lab, setidaknya ada empat tipe voting elektronik yang pernah ada. Di era 1890-an, digunakan mesin dengan mekanisme tuas untuk membantu pemilih memberikan suara.

Di dalam mesin tersebut pemberi suara tidak bisa memberikan suara terlalu banyak. Ketika proses penyampaian suara selesai, Anda cukup menaruh pilihan. Sebuah tuas besar akan menyimpan data pilihan, sementara mesin bisa digunakan oleh pemberi suara berikutnya.

Mesin kedua sempat digunakan di era pemilihan presiden AS pada tahun 2000. Mesin punch-card mengharuskan pemberi suara untuk menyelipkan selembar kertas pada buku berisi daftar kandidat dan harus melubangi kertas berdasarkan kolom yang sesuai pilihan.

Kertas yang dilubangi berfungsi sebagai suara yang diberikan oleh pemilih. Mesin dengan konsep yang serupa dengan pengoreksi jawaban dalam ujian juga turut digunakan untuk mempermudah pendataan suara masing-masing kabinet.

Generasi berikutnya merupakan mesin bernama direct-recording electronic (DRE). Mesin ini awalnya muncul sebagai rupa digitalisasi dari mesin voting tuas yang digantikan dengan tombol. Seiring waktu, DRE semakin canggih hingga penghitungan mekanikal digantikan dengan data digital dan tombol digantikan dengan layar sentuh.

DRE tampak serupa komputer kecil yang menampilkan daftar kandidat yang bisa dipilih. Kendati dianggap mudah, DRE memunculkan beragam kontroversi seiring dengan penggunaannya sebagai instrumen tunggal pemungutan suara.

Proesor David Dil dari Stanford University menolak DRE sebagai instrumen pemungutan suara tanpa disertai dokumen penunjang keaslian suara. Pada akhirnya mesin ini dilengkapi dengan voter-verifiable paper audit (VVPAT) yang menjadi catatan penunjang bukti pengambilan suara.

Kendati menuai beragam kontroversi, kemunculan mesin-mesin ini mampu menjembatani masyarakat yang memiliki keterbatasan. Hanya di satu sisi, perlu pengawasan ketat untuk menekan kemungkinan beragam bentuk kecurangan.

Sumber: www.cnnindonesia.com
– – –
SentraCyber – Cyber Trading and IT Networking Solution